06 Desember 2008

Tanpa kotekelama, kami lapar

Cerita ikan paus dari Lamalera (3)

HADIRNYA lembaga swasta, WWF Indonesia-Solor Alor- Lembata Project membuka usaha konservasi di wilayah ini, tengah menjadi kekhawatiran nelayan Lamalera. Beredar kabar, nelayan Lamalera akan dilarang memburu ikan paus.

Meksi sebatas gagasan yang didiskusikan, sikap perlawanan sudah mulai muncul. Larangan memburu paus dinilai memutus mata rantai mata pencaharian utama warisan nenek moyang mereka.

Kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf, warga Lamalera B, Philipus Beda Kerong dan tokoh masyarakat Bernadus Batafor, melontarkan kekhawatirannya. Keraf mengakui paus adalah binatang dilindungi, tetapi jangan pernah membatasi nelayan menangkapnya. Lamalera bisa terkenal ke selutuh dunia karena tradisi menangkap ikan paus secara tradisonal. Tanpa paus Lamalera akan mati. "Kami tidak bisa hidup tanpa paus. Kami lapar dan tidak bisa sekolahkan anak. Tidak bisa bangun rumah seng," kata Keraf, kepada Pos Kupang di Lamalera, Selasa (1/5/2007) usai perayaan kurban misa leva.

Nelayan Lamalera, diakuinya bisa mencari ikan-ikan kecil, tetapi sulit memasarkanya. Siapa yang akan datang membeli ke Lamalera nun jauh di pantai Selatan Pulau Lembata. Bagaimana mengawetkannya, es batu sulit didapat dan listrik hanya sebatas penerangan malam.

Ketakutan serupa disampaikan Philipus, Lamalera bisa mati kelaparan tanpa paus. Paus telah menghidupi kami sejak nenek moyang dahulu kala sampai kini. Nelayan bisa menyekolahkan anak sampai pergurun tinggi dari hasil ikan paus, rumah seng bisa dibangun dengan hasil ikan. Semua urusan di rumah bisa lancar dengan ikan paus.

Akan terasa lain jika paus dilarang ditangkap, karena selama ini Lamalera dibesarkan dan menggantunkan hidup pada "kotekelema". Kotekelema, adalah sejenis paus yang paling sering didapat. Ciri ikan ini yakni melahirkan anak, menyusui anak sampai dewasa, bernafas dengan paru paru dan tidak berdarah panas. 

Nelayan Lamalera juga tidak semata menangkap paus. Ikan hiu dan jenis ikan lain juga dicari. Sebelum hadirnya kapal nelayan asing, mereka masih bisa mendapatkan hiu. Tetapi, sejak kapal ikan asing melepas long line di Lamalera, hiu jadi jarang diperoleh. Padahal sirip dan ekornya dijual kepada pengusaha dan mendatangkan penghasilan besar, dan dagingnya bisa dibarter kaum ibu dengan hasil kebun dari gunung-gunung atau dijual ke pasar.

Nelayan Lamalera juga mengetahui paus sumber hidupnya merupakan binatang purbakala yang mungkin hampir punah. Tetapi, penangkapan secara tradisional memenuhi kebutuhan sendiri, dipercayai paus akan tetap hidup dan ada sepanjang saman. 

Gagasan WWF menghentikan penangkapan paus, dipahami Philipus. Namun, nelayan harus diberi alternatif "pencaharian" berupa motor jonson (motor temple) dan pukat. 

Ambros Oleona, warga masyarakat Lewoleba asal Lamalera, mengeluhkan kapal nelayan modern diawaki nelayan asing beroperasi ke Lamalera. Sebelum hadirnya kapal ini, nelayan setempat mudah mendapatkan hiu. Tetapi, sejak beroperasinya kapal asing, hiu sulit diperoleh. Nelayan asing hanya mengambil siripnya dan membuangkan daging hiu ke laut.

"Dulu, nelayan bisa menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi dengan menjual sirip ikan hiu, tetapi sekarang sulit sekali mendapatkannya,"kata pensiunan guru SD ini kepada Pos Kupang, usai mengkuti misa arwah di Lamalera, Senin malam (30/4/2007).

Tokoh masyarakat Lamalera, Barnadus Batafor, menawarkan penakaran ikan kerapu bisa menjadi altenatif bagi nelayan Lamalera jika perburuan paus dilarang. Menurutnya, laut Lamalera, potensial ikan kerapu, tetapi memasuki usaha ini, nelayan membutuhkan modal dan pendampingan. Sedangkan rumput laut, sudah pernah diusahakan, tetapi sering dihempas ombak. Sempat dipindahkan ke lokasi yang teduh, namun sering dicuri.

****
MENGALIHKAN mata pencaharian nelayan Lamalera dari tangkap ikan paus yang telah turun temurun dilakoninya kepada usaha penangkapan ikan lain bukan pekerjaan gampang. Inilah benang merah tukar pendapat masyarakat Lamalera dengan rombongan WWF Indonesia, TNC dan Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) RI, mengunjungi Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Senin (30/4/2007). Dialog singkat usai perayaan misa leva, Selasa (1/5/5007) berlangsung santai dan akrab.

Wakil Direktur Program Kelautan WWF Indonesia, Tri Agung, mengakui sulit melarang apalagi menghilangkan tradisi yang sudah turun temurun diwariskan nenek moyang. Melarang mereka, sama halnya menghilangkan suatu budaya yang sudah mengakar kuat di masyarakat. 

Tri, menanyakan nelayan tentang hasil tangkapan ikan paus pada 2006 hanya lima ekor mengatakan, paus merupakan binatang migrasi yang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Karenanhya konservasi ikan paus harus merupakan gerakan global dan tidak bisa dilakukan hanya di suatu lokasi dan membiarkan penangkapan dan pembunuhan pada lokasi yang lain.

Konservasi hutan maupun binatang, lanjut Tri, sering salah diterjemahkan. Orang menafsirkan konservasi dengan penutupan. Padahal, konservasi merupakan tindakan pemanfaatan secara terbatas agar sumber daya yang ada bisa juga digunakan generasi berikutnya. 

Tri menegaskan, saat ini WWF tidak sedang berupaya menghentikan aktivitas perburuan, tetapi memikirkan tindakan alternatif yang bisa menjadi solusi mengatasi perburuan paus. 

Mengalihkannya pencaharian memburu paus dengan dengan memelihara rumput laut atau mencari ikan jenis lain, juga butuh penelitian dan kajian mendalam dan didiskusikannya dengan nelayan. Program mana yang tepat untuk nelayan Lamalera. Menyelami potensi dan kekayaan yang ada di pantai Lamalera juga perlu dilakukan. 

Ketika pengalihannya juga tidak serentak, melarang nelayan jangan memburu paus. Namun bertahap, rakyat disadarkan terus-menerus sampai dia memahami paus perlu dilestarikan. 

Andy Rusandi dari DKP mengatakan, laut Sawu, kini jadi "ladang" perburuan paus merupakan daerah subur (up welling) yang ditandai perputaran arus laut yang tinggi. Keadaan ini menciptakan pito planton yang subur dan potensial untuk makanan ikan. Potensi ini pun menarik minat nelayan dari luar masuk mencari ikan di laut Sawu. Langkah nyata yang perlu dilakukan adalah menjaga kelestariannya dari upaya pemboman dan pemusnahannya.

Dikatakannya, dua lokasi laut potensial ikan di Indonesia selalu dibicarakan dalam forum diskusi nasional, yakni laut Sawu dan Anambas di Kepulauan Riau.
"Indonesia Timur, potensi subur ini hanya di laut Sawu. Dalam musim tertentu setiap tahun, terjadi migrasi ikan-ikan dari tempat lain melewati laut Sawu. Banyak nelayan dan kapal penangkapan ikan sedang mengincar lokasi ini," tandas Andy Rusandi, kepada Pos Kupang di Lamalera, Selasa (1/5/2007)

Tentang konservasi ikan paus, Andy mengatakan, konservasi bukan hanya melindungi, tetapi pengaturan sedemikian rupa, sehingga sumber daya yang ada bisa digunakan secara berkelanjutan. "Tangkap paus secara tradisional berlangsung turun- temurun dan tidak menggunakan teknologi modern, sebenarnya nelayan sudah melakukan konservasi," tandas Andy.

Utusan The Natural Conservasi (TNC) , Yohanes Subiyanto mengatakan, WWF, TNC dan pemerintah daerah bisa bergendengan tangan mendorong laut Sawu menjadi kawasan konservasi. Penangkapan paus dengan cara-cara tradisional merupakan tindakan bijak menjaga kelesatarin paus. Tradisi penangkapan yang memadukan ritual adat dan persembahan kurban misa yang mengawali perburuan, belum pernah ditemukan di lokasi manapun di dunia ini. 

Paus adalah binatang migrasi yang tak terikat dalam ruang dan waktu. Supaya keberaadannya terjaga, mesti jadi komitmen bersama melestarikannya. Jangan sampai paus dan nelayan Lamalera tinggal nama. 

Konservasi, kata Subiyanto, bukan boleh dan tidak boleh mengambil sumber daya alam itu, tetapi persahabatan manusia dengan alam lingkungan agar bisa digunakan sepanjang masa. Tidak menggunakan racun sianida dan bom ikan untuk mendapatkan tangkapan sudah merupakan langkah konservasi. 
Subiyanto menyarankan, mengalihkan nelayan Lamalera menekuni usaha lain di laut, menakar ikan kerapu, memelihara rumput laut yang memberi hasil lebih besar perlu keterpaduan semua stakeholder. Semuanya harus dikaji matang agar tidak sekedar mengalihkan, tetapi nelayan dirugikan.(eugenius moa/habis)

Tidak ada komentar: