06 Desember 2008

Janda, yatim piatu tak lagi utama

Cerita ikan paus dari Lamalera (1)

BERBURU ikan paus menggunakan peralatan serba sederhana---perahu kayu (peledang, dalam bahasa setempat) yang didayung atau pakai layar, sebilah "tempuling" (tombak) untuk membunuh ikan telah menciptakan atraksi yang paling menarik perhatian ke seantero bumi. Lamalera, dulunya desa terpencil dan miskin di pantai selatan Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, kini berubah jadi daerah wisata digandrungi wisatawan mancanegara dan domestik. 

Terdorong ingin menyaksikan keunikannya, pria dan wanita bule atau kaum mata sipit asal Cina, Jepang dan Korea, rela berbulan-bulan tinggal, makan dan minum bahkan hingga bisa berbahasa Lamalera. Asalkan satu, mereka bisa langsung menyaksikan perburuan ikan paus itu. 

Kampung Lamalera, meliputi Desa Lamalera A dan Lamalera B, sejatinya merupakan desa pantai. Bernaung di bawah kaki bukit tandus dan kering. Ke selatan berhadapan laut sawu, utara dengan bukit batu, di timur ada Tanjung Atadei dan di barat ada Tanjung Naga yang saban hari digunakan kapal Taiwan membuang" longline." 

Separuh wilayah desa ini terdiri dari dari batu-batuan gunung. Rumah-rumah warga dibangun di atas bebatuan. Jangan tanya lahan pertanian, lading yang cukup luas atau pekarang di halaman rumah yang bisa ditanami buah-buahan, sayur mayur atau tanam umur pendek lain. 

Bagi, yang baru sekali datang ke Lamalera atau asal-usulnya dari daerah yang alamnya subur, dalam hati akan tanya, orang sini (Lamalera) bisa hidup? Kenyataanya dari dulu sampai kini, orang-orang Lamalera begitu eksis. Mereka dikenall tangguh, ulet, kuat dan pekerja keras. Dari desa batuan ini pula telah lahir putra-putra terbaik bangsa. Mantan guru besar Tata Bahasa Indonesia, Prof. Dr. Goris Keraf (alm) atau mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, Dr. Sony Keraf, asalnya dari Lamalera. Belum termasuk sederet pembesarr yang punya marga Lamalera yang telah berkarya dan mengabdi kepada negeri dan daerah ini. Mereka semua, berasal dan dibesarkan dari ikan paus. Ada apa dengan Lamalera. Ikuti serialnya.

TAK terbilang lagi banyaknya bidikan kamera tv atau jepreten pewarta foto. 
Tidak terhitung pula reportase stasiun tv atau wartawan surat kabar dan majalah dari berbagai daerah dan negara di dunia. Wisatawan, peneliti dan penulis buku bahu-membahu. Setiap tahun menjelang musim perburuan (leva) datang ke Lamalera dengan satu tujuan menggali, menikmati dan mewartakan cerita perburuan ikan paus.

Sejak ratusan tahun silam ketika nenek moyang orang Lamalera memulai perburuan ikan paus, sampai kini tak banyak yang berubah dalam tradisinya. Upacara-upacara yang diwariskan masih dilanjutkan. 

Sehari atau dua hari menjelang akhir bulan April atau memasuki bulan Mei (bulan melakukan doa rosario bagi umat Katolik), diadakan upacara adat oleh para tuan tanah. Ada dua tuan tanah besar Lamalera, yakni Langowujon berdomisili di bagian timur dan suku Tufaona yang punya wilayah kekuasaan di bagian barat. 

Upacara pendahuluan ini disebut tobunamafata. Selain itu hadir juga suku Blikololong, Bataona dan Lewotukan, para pemuka masyarakat, tokoh gereja, pemerintah desa dan masyarakat nelayan. Mereka duduk bersila di pantai membicarakan, merundingkan dan bertukar pikiran atau sekedar bernostalgia segala kejadian yang baik dan buruk pada musim leva yang telah lewat. 
Suasana keakraban, persaudaran dan kekeluargaan sangat nampak dalam diskusi yang dihadiri kaum laki-laki itu. Persaudaraan itu disatukan dengan makan jagung "titi," sirih pinang, minum tuak atau merokok tembakau yang digulung dari daun koli.

Mendiskusikan segala kejadian pada musim leva sudah lewat sebelum mulai berburu pada tahun yang baru merupakan kebiasaan lama nenek moyang dahulu. Kepercayaan mereka, beda pendapat, bermusuhanan, pertengkaran akan mempengaruhi pencarian di laut. Karena itu, semua soal yang telah terjadi wajib diselesaikan agar tak ada lagi dendam, sakit hati dan kurang puas. Sasarannya sama dan satu untuk memulai sesuatu yang baru dalam musim leva.

***
PADA musim 2007, upacara tobunamafata diadakan tanggal 27-28 April 2007 di pesisir Pantai Desa Lamalera B, persis di depan Kapela St. Petrus Paulus. Di tempat ini pula setiap tahun diadakan misa leva yang menandai dimulainya musim perburuan ikan paus. Suatu kemajuan yang dicapai pada musim leva 2007 dibanding tahun-tahun yang telah lewat yakni semua kesepakatan dibuat tertulis agar mengikat semua yang berdiam dan terlibat dalam perburuan ikan paus itu.
Sekiranya terjadi pelanggaran saat berburu ikan paus, ikan pari atau ikan seguni, maka sekembalinya ke darat harus didiskusikan, diselesaikan atau mendamaikan mereka yang bersengketa dan bertengkar itu. Disepakati, perselisihan ini diselesaikan di depan kapela.

Langkah penting ini karena pengalaman tahun silam, sejumlah nelayan terlibat baku lempar dan kejar-kejaran di laut berebutan buruan ikan paus. Meski dalam tradisi mencari ikan paus "haram" dilakukan. 

Entahlah, apa yang mendorong para nelayan berulah seperti itu. Tetapi, tuntutan kebutuhan hidup yang makin meningkat di tengah persaingan yang semakin tinggi mendapatkannya, tradisi, adat istiadat atau kebiasaan yang sudah turun-temurun bisa saja dikangkangi. 

"Kebiasaan yang berlaku sejak nenek moyang kami dahulu kala, peledang (perahu) yang pertama kali mendapatkan ikan paus menjadi milik peledang bersangkutan. Peledang lain yang datang kemudian hanya membantu dan akan mendapat bagiannya," kata Philipus Beda Kerong (54) ditemani istrinya Agnes Kewa Oleona (45), dan pamannya Ambros Oleona, kepada Pos Kupang, Senin malam (30/4/2007) di Lamalera. 

Anggapan berkembang di masyarakat Lamalera, berkurangnya tangkapan ikan paus pada musim leva 2006, mungkin pula disebabkan pertengkaran, perselisihan, beda pendapat, dendam dan cekcok antara tuan tanah, para suku, nelayan maupun masyarakat sekampung. "Kadang juga kami tidak percaya, tapi kenyataanya, setiap ada percecokan, pengaruhnya pada ikan yang kami peroleh. Tahun ini jumlahnya sangat sedikit," kata Philipus.

Ambros Oleona, pensiunan guru asal Lamalera menjelaskan, setelah tobunamafata, para tuan tanah kembali memimpin seremoni adat memanggil roh-roh ikan paus (ikang pungalap). Tulang-belulang, sayap ikan dan bagian-bagian ujung dari ikan itu dicampurkan, dibasahi dan diletakkan di depan kapela. Pada tahun ini, upacara ini diadakan, Senin petang (30/4).

Tahap selanjutnya---sebelum memasuki misa leva diadakan misa arwah, Senin (30/4). Ratusan umat dari Lamalera A dan B bersatu padu dalam misa yang dipimpin Pastor Paroki St. Petrus-Paulus Lamalera, Rm. Yakobus Dawan, Pr. Doa dan pujian-pujian dipersembahkan kepada sanak saudara yang sudah mati di laut ketika berburu ikan paus. Puncak upacara ini, ketika kaum keluarga, kerabat dan sahabat kenalan melepaskan lilin bernyala ke laut. Terasa hening dan suasana duka menyelimuti Pantai Lamalera. Ada sanak famili yang menangis dan terpekur memandang ke laut lepas membayangkan kejadian yang pernah dialami, anak, kakak, adik atau suami dan saudara yang tewas.

Kenapa pada tanggal 1 Mei setiap tahun ketika dimulai perburuan ikan paus, seluruh umat dari Lamalera A dan B, tua, muda, laki dan perempuan berkumpul di depan kapela melakukan misa? Rm. Yakobus Dawan, Pr, menimpali, umat Katolik Lamalera mempercayai bahwa setiap pekerjaan harus dimulai dan diakhir dengan doa. Ketika musim leva dibuka harus diawali dengan misa leva setiap tanggal 1 Mei dan ditutup pada 31 Oktober saat berakhirnya musim leva. 

Upacara ini terdorong suatu keyakinan dan iman yang teguh bahwa setiap pencarian hidup di dunia bukan semata-mata mengandalkan kemampuan sendiri, tetapi kekuatan Tuhan. .Dahulu, misa leva dan dan misa arwah disatukan. Intinya mendoakan mereka yang telah meninggal di laut dan memohon perlindungan Tuhan supaya para nelayan Lamalera yang akan "mencari" memperoleh hasil melimpah. "Lamalera bisa terkenal ke seluruh dunia karena nelayan tradisonal," kata pastor kelahiran Waibulan, Larantuka, yang telah lima tahun berkarya di Lamalera.

Baik, upacara adat dan misa gereja punya tujuan sama (memohon perlindungan Tuhan agar diperoleh hasil tangkapan banyak). Tapi, seiring makin terbukanya Lamalera yang bisa dikunjungi manusia dari segala belahan dunia, tak terasa pula mempengaruhi suasana kebersamaan masyarakat dan memunculkan semangat indivual. Jika dahulu, ketika suami (nelayan) akan melaut, seisi rumah--suami, istri dan anak-anak berdoa bersama di rumah sebelum sang suami melaut. Begitu pula ketika suami sedang mencari, seisi rumah menunggu dengan sabar sambil berdoa di rumahnya. Namun kebiasaan lama yang baik itu kurang nampak lagi saat ini. 

Pergeseran itu juga terasa dalam pembagian ikan. Dahulu, kaum janda, yatim piatu atau orang yang secara ekonomis kurang beruntung di desanya, didahulukan menerima bagian. Pemberian secara iklas ini berlangsung turun-temurun, tetapi saat ini tak terlihat lagi. Yang dapat bagian terbesar, paling bagus dan utama adalah tuan tanah atau mereka yang paling berperan dalam perburuan itu. Entahlah kepala suku, lamava (juru tikam), tukang perahu atau siapa saja menurut tradisi berhak atas porsinya.

"Mungkin juga Lamalera makin terbuka dengan dunia luar. Orang Lamalera bisa bergaul dengan turis dari Eropa, Cina, Jepang atau Korea. Ini hal yang positif, tapi adat dan budaya tidak boleh ditinggalkan. Tradisi lama yang baik harus dikembalikan ke tempatnya," saran Romo Yakobus. (eugenius moa/bersambung)

Tidak ada komentar: