06 Desember 2008

Penadah Mutiara Dituntut 6 Bulan Penjara

LEWOLEBA, PK--Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Lewoleba, Arif M Kanahau, S.H, menuntut Sonny The Nalley alias Baba Sonny, terdakwa penadah mutiara curian milik PT Chamar Sentosa Kupang, dengan hukuman enam bulan penjara. Tuntutan tersebut sama dengan tuntutan JPU kepada terdakwa penadah mutiara, Syukur Alan yang akhirnya divonis majelis hakim dengan hukum enam bulan penjara.

Demikian dikatakan JPU, Arif M Kanahau, dalam sidang lanjutan perkara penadah kerang mutiara di Pengadilan Negeri (PN) Lewoleba, Selasa (2/12/2008). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim PN Lewoleba, Karlen Parhusip, S.H, Hakim Anggota L.M.Sandi Iramaya, S.H, dan Dedy Heryanto, S.H, dihadiri keluarga dan kerabat korban. "Tuntutan ini sama dengan Syukur Alan. Dia dituntut enam bulan penjara dan majelis hakim juga memvonis enam bulan penjara," kata Arif, usai sidang.

Arif menguraikan, aksi Syukur Allan mengaku terbukti bersalah melakukan tindak pidana penadahan dan dijatuhi hukuman pidana enam bulan penjara. Vonis tertuang dalam putusan PN Lewoleba Nomor 45/Pid.B/2008/PN.LBT tanggal 15 September 2009, telah dieksekusi jaksa. Dengan demikian, sudah terbukti secara sah dan meyakinkan.

Berdasarkan keterangan saksi, Charis Foe, Hamidah Kia, Syukur Alan, dan Saemang Loci maupun terdakwa, benar pada bulan Februari terjadi transaksi jual beli siput mutiara di kediaman Syukur di Wangatoa, Kelurahan Lewoleba Timur. Mutiara sebanyak 140 ekor itu dibawa Saemang dari Meko, lokasi budidaya mutiara yang dikelola PT Chamar Sentosa. 

Setibanya di rumah Syukur, Saemang menanyakan kepada Syukur, pembeli siput mutiara itu. Selanjutnya Syukur menemui Baba Sony di rumahnya di Kampung Rayuan Kelapa, Kelurahan Lewoleba Utara, mengabarkan ada siput mutiara tersebut.
Sempat terjadi dialog antara Sonny dengan Syukur menanyakan asal usul siput mutiara dalam pertemuan di rumah terdakwa. Usai pertemuan itu, terdakwa meluncur ke rumah Syukur. Tak lama berselang, datang juga anak terdakwa mengendari mobil hartop warna merah EB 7079 D. Saat itu juga dilakukan transaksi 140 ekor siput diangkut menuju rumah terdakwa dan dengan harga Rp 300.000.

Masih di bulan Februari 2008, terjadi lagi transaksi 180 ekor siput mutiara antara terdakwa dengan Saemang Loci di kediaman Syukur dan disepekati dibelinya seharga Rp 400.000. Uang pembelian mutiara ini dibayar di rumah terdakwa.
Berdasarkan uraian-uaraian ini, JPU berkeyakinan dapat membuktikan seluruh unsur yang dikehendaki dalam pasal 480 sub 1e KUHPidana terpenuhi. 

Alasan lainnya, selama pemeriksaan di persidangan ini tidak ditemukan ada dasar-dasar yang meniadakan hukuman dan penuntutan maupun alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum serta pertanggungjawaban terdakwa. Hal yang memberatkannya, perbuatan terdakwa merugikan PT Chamar Sentosa dan berbelit-belit memberikan keterangan. (ius)
Lanjut...

Janda, yatim piatu tak lagi utama

Cerita ikan paus dari Lamalera (1)

BERBURU ikan paus menggunakan peralatan serba sederhana---perahu kayu (peledang, dalam bahasa setempat) yang didayung atau pakai layar, sebilah "tempuling" (tombak) untuk membunuh ikan telah menciptakan atraksi yang paling menarik perhatian ke seantero bumi. Lamalera, dulunya desa terpencil dan miskin di pantai selatan Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, kini berubah jadi daerah wisata digandrungi wisatawan mancanegara dan domestik. 

Terdorong ingin menyaksikan keunikannya, pria dan wanita bule atau kaum mata sipit asal Cina, Jepang dan Korea, rela berbulan-bulan tinggal, makan dan minum bahkan hingga bisa berbahasa Lamalera. Asalkan satu, mereka bisa langsung menyaksikan perburuan ikan paus itu. 

Kampung Lamalera, meliputi Desa Lamalera A dan Lamalera B, sejatinya merupakan desa pantai. Bernaung di bawah kaki bukit tandus dan kering. Ke selatan berhadapan laut sawu, utara dengan bukit batu, di timur ada Tanjung Atadei dan di barat ada Tanjung Naga yang saban hari digunakan kapal Taiwan membuang" longline." 

Separuh wilayah desa ini terdiri dari dari batu-batuan gunung. Rumah-rumah warga dibangun di atas bebatuan. Jangan tanya lahan pertanian, lading yang cukup luas atau pekarang di halaman rumah yang bisa ditanami buah-buahan, sayur mayur atau tanam umur pendek lain. 

Bagi, yang baru sekali datang ke Lamalera atau asal-usulnya dari daerah yang alamnya subur, dalam hati akan tanya, orang sini (Lamalera) bisa hidup? Kenyataanya dari dulu sampai kini, orang-orang Lamalera begitu eksis. Mereka dikenall tangguh, ulet, kuat dan pekerja keras. Dari desa batuan ini pula telah lahir putra-putra terbaik bangsa. Mantan guru besar Tata Bahasa Indonesia, Prof. Dr. Goris Keraf (alm) atau mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, Dr. Sony Keraf, asalnya dari Lamalera. Belum termasuk sederet pembesarr yang punya marga Lamalera yang telah berkarya dan mengabdi kepada negeri dan daerah ini. Mereka semua, berasal dan dibesarkan dari ikan paus. Ada apa dengan Lamalera. Ikuti serialnya.

TAK terbilang lagi banyaknya bidikan kamera tv atau jepreten pewarta foto. 
Tidak terhitung pula reportase stasiun tv atau wartawan surat kabar dan majalah dari berbagai daerah dan negara di dunia. Wisatawan, peneliti dan penulis buku bahu-membahu. Setiap tahun menjelang musim perburuan (leva) datang ke Lamalera dengan satu tujuan menggali, menikmati dan mewartakan cerita perburuan ikan paus.

Sejak ratusan tahun silam ketika nenek moyang orang Lamalera memulai perburuan ikan paus, sampai kini tak banyak yang berubah dalam tradisinya. Upacara-upacara yang diwariskan masih dilanjutkan. 

Sehari atau dua hari menjelang akhir bulan April atau memasuki bulan Mei (bulan melakukan doa rosario bagi umat Katolik), diadakan upacara adat oleh para tuan tanah. Ada dua tuan tanah besar Lamalera, yakni Langowujon berdomisili di bagian timur dan suku Tufaona yang punya wilayah kekuasaan di bagian barat. 

Upacara pendahuluan ini disebut tobunamafata. Selain itu hadir juga suku Blikololong, Bataona dan Lewotukan, para pemuka masyarakat, tokoh gereja, pemerintah desa dan masyarakat nelayan. Mereka duduk bersila di pantai membicarakan, merundingkan dan bertukar pikiran atau sekedar bernostalgia segala kejadian yang baik dan buruk pada musim leva yang telah lewat. 
Suasana keakraban, persaudaran dan kekeluargaan sangat nampak dalam diskusi yang dihadiri kaum laki-laki itu. Persaudaraan itu disatukan dengan makan jagung "titi," sirih pinang, minum tuak atau merokok tembakau yang digulung dari daun koli.

Mendiskusikan segala kejadian pada musim leva sudah lewat sebelum mulai berburu pada tahun yang baru merupakan kebiasaan lama nenek moyang dahulu. Kepercayaan mereka, beda pendapat, bermusuhanan, pertengkaran akan mempengaruhi pencarian di laut. Karena itu, semua soal yang telah terjadi wajib diselesaikan agar tak ada lagi dendam, sakit hati dan kurang puas. Sasarannya sama dan satu untuk memulai sesuatu yang baru dalam musim leva.

***
PADA musim 2007, upacara tobunamafata diadakan tanggal 27-28 April 2007 di pesisir Pantai Desa Lamalera B, persis di depan Kapela St. Petrus Paulus. Di tempat ini pula setiap tahun diadakan misa leva yang menandai dimulainya musim perburuan ikan paus. Suatu kemajuan yang dicapai pada musim leva 2007 dibanding tahun-tahun yang telah lewat yakni semua kesepakatan dibuat tertulis agar mengikat semua yang berdiam dan terlibat dalam perburuan ikan paus itu.
Sekiranya terjadi pelanggaran saat berburu ikan paus, ikan pari atau ikan seguni, maka sekembalinya ke darat harus didiskusikan, diselesaikan atau mendamaikan mereka yang bersengketa dan bertengkar itu. Disepakati, perselisihan ini diselesaikan di depan kapela.

Langkah penting ini karena pengalaman tahun silam, sejumlah nelayan terlibat baku lempar dan kejar-kejaran di laut berebutan buruan ikan paus. Meski dalam tradisi mencari ikan paus "haram" dilakukan. 

Entahlah, apa yang mendorong para nelayan berulah seperti itu. Tetapi, tuntutan kebutuhan hidup yang makin meningkat di tengah persaingan yang semakin tinggi mendapatkannya, tradisi, adat istiadat atau kebiasaan yang sudah turun-temurun bisa saja dikangkangi. 

"Kebiasaan yang berlaku sejak nenek moyang kami dahulu kala, peledang (perahu) yang pertama kali mendapatkan ikan paus menjadi milik peledang bersangkutan. Peledang lain yang datang kemudian hanya membantu dan akan mendapat bagiannya," kata Philipus Beda Kerong (54) ditemani istrinya Agnes Kewa Oleona (45), dan pamannya Ambros Oleona, kepada Pos Kupang, Senin malam (30/4/2007) di Lamalera. 

Anggapan berkembang di masyarakat Lamalera, berkurangnya tangkapan ikan paus pada musim leva 2006, mungkin pula disebabkan pertengkaran, perselisihan, beda pendapat, dendam dan cekcok antara tuan tanah, para suku, nelayan maupun masyarakat sekampung. "Kadang juga kami tidak percaya, tapi kenyataanya, setiap ada percecokan, pengaruhnya pada ikan yang kami peroleh. Tahun ini jumlahnya sangat sedikit," kata Philipus.

Ambros Oleona, pensiunan guru asal Lamalera menjelaskan, setelah tobunamafata, para tuan tanah kembali memimpin seremoni adat memanggil roh-roh ikan paus (ikang pungalap). Tulang-belulang, sayap ikan dan bagian-bagian ujung dari ikan itu dicampurkan, dibasahi dan diletakkan di depan kapela. Pada tahun ini, upacara ini diadakan, Senin petang (30/4).

Tahap selanjutnya---sebelum memasuki misa leva diadakan misa arwah, Senin (30/4). Ratusan umat dari Lamalera A dan B bersatu padu dalam misa yang dipimpin Pastor Paroki St. Petrus-Paulus Lamalera, Rm. Yakobus Dawan, Pr. Doa dan pujian-pujian dipersembahkan kepada sanak saudara yang sudah mati di laut ketika berburu ikan paus. Puncak upacara ini, ketika kaum keluarga, kerabat dan sahabat kenalan melepaskan lilin bernyala ke laut. Terasa hening dan suasana duka menyelimuti Pantai Lamalera. Ada sanak famili yang menangis dan terpekur memandang ke laut lepas membayangkan kejadian yang pernah dialami, anak, kakak, adik atau suami dan saudara yang tewas.

Kenapa pada tanggal 1 Mei setiap tahun ketika dimulai perburuan ikan paus, seluruh umat dari Lamalera A dan B, tua, muda, laki dan perempuan berkumpul di depan kapela melakukan misa? Rm. Yakobus Dawan, Pr, menimpali, umat Katolik Lamalera mempercayai bahwa setiap pekerjaan harus dimulai dan diakhir dengan doa. Ketika musim leva dibuka harus diawali dengan misa leva setiap tanggal 1 Mei dan ditutup pada 31 Oktober saat berakhirnya musim leva. 

Upacara ini terdorong suatu keyakinan dan iman yang teguh bahwa setiap pencarian hidup di dunia bukan semata-mata mengandalkan kemampuan sendiri, tetapi kekuatan Tuhan. .Dahulu, misa leva dan dan misa arwah disatukan. Intinya mendoakan mereka yang telah meninggal di laut dan memohon perlindungan Tuhan supaya para nelayan Lamalera yang akan "mencari" memperoleh hasil melimpah. "Lamalera bisa terkenal ke seluruh dunia karena nelayan tradisonal," kata pastor kelahiran Waibulan, Larantuka, yang telah lima tahun berkarya di Lamalera.

Baik, upacara adat dan misa gereja punya tujuan sama (memohon perlindungan Tuhan agar diperoleh hasil tangkapan banyak). Tapi, seiring makin terbukanya Lamalera yang bisa dikunjungi manusia dari segala belahan dunia, tak terasa pula mempengaruhi suasana kebersamaan masyarakat dan memunculkan semangat indivual. Jika dahulu, ketika suami (nelayan) akan melaut, seisi rumah--suami, istri dan anak-anak berdoa bersama di rumah sebelum sang suami melaut. Begitu pula ketika suami sedang mencari, seisi rumah menunggu dengan sabar sambil berdoa di rumahnya. Namun kebiasaan lama yang baik itu kurang nampak lagi saat ini. 

Pergeseran itu juga terasa dalam pembagian ikan. Dahulu, kaum janda, yatim piatu atau orang yang secara ekonomis kurang beruntung di desanya, didahulukan menerima bagian. Pemberian secara iklas ini berlangsung turun-temurun, tetapi saat ini tak terlihat lagi. Yang dapat bagian terbesar, paling bagus dan utama adalah tuan tanah atau mereka yang paling berperan dalam perburuan itu. Entahlah kepala suku, lamava (juru tikam), tukang perahu atau siapa saja menurut tradisi berhak atas porsinya.

"Mungkin juga Lamalera makin terbuka dengan dunia luar. Orang Lamalera bisa bergaul dengan turis dari Eropa, Cina, Jepang atau Korea. Ini hal yang positif, tapi adat dan budaya tidak boleh ditinggalkan. Tradisi lama yang baik harus dikembalikan ke tempatnya," saran Romo Yakobus. (eugenius moa/bersambung)
Lanjut...

Mati demi istri dan anak

Cerita ikan paus dari Lamalera (2)

LAMALERA---telah lama identik dengan tradisi ikan paus. Kisah para nelayan tangguh lawan ikan paus yang ganas dan kuat. Betapa gagah perkasanya sang juru tikam ketika meloncat dengan semangat membara ke tengah laut menancapkan tempuling (sebilah besi diruncingkan ujungnya) ke tubuh ikan sebesar kapal ikan nelayan atau kapal penumpang rakyat sekitar 20-an meter panjangnya. 

Ikan paus jenis kotekelema, sebutan nelayan Lamalera terhadap ikan paus yang menyusui anaknya, merupakan jenis ikan paling dicari. Itu tak berarti, ikan besar lainnya seperti ikan seguni, pari, lumba-lumba dan ikan hiu tak dicari. Ikan-ikan ukuran kecil yang saban hari ditemui dijual di pasar juga dicari nelayan. 

Pencarian ikan paus, juga tak terbatas pada musim leva yakni musim dimulainya pencarian. Bila, sebelum atau setelah musim leva ditemui ikan paus lewat di perairan Lamalera, tak akan dibiarkannya. Tetapi, situasinya akan lain dibanding pencarian pada musim leva yang direstui adat dan gereja.
Berburu ikan paus, bagi nelayan Lamalera adalah mata pencaharian utama. Sama seperti petani, buruh, guru, pegawai negeri sipil dan swasta, tentara, polisi, pengusaha, dokter, kontraktor atau profesi lainnya. 

Apabila pegawai kerja di kantor. Dokter dan bidan melayani pasien di rumah sakit atau petani berada di sawah dan ladang. Sama halnya nelayan Lamalera memilih laut sebagai "lahan" garapan. Berburu ikan paus juga identik dengan petani memacul di ladang atau petani sawah membajak sawah dan pegawai pemerintahan melayani masyarakat.

Karena itu, mereka terikat dengan tata cara dan tata krama, adat dan kebiasaan. Menjunjung tinggi adat kebiasaan yang diwarisakan leluhur dahulu maupun kepatuhan kepada ajaran agama dan gereja---menghasihi dan mencintai harus jadi landasanya. Pelanggaran adat dan kebiasaan, nyawa akan jadi taruhan.
Tidak terhitung, berapa banyak kecelakaan menimpa nelayan Lamalera ketika melakukan "pencarian hidup" di laut. Diseret ikan paus sampai berpuluh-puluh mil jauh dari kampung halamannya sering dialami. Namun, semangat dan motivasi mereka memburu ikan paus tak akan berhenti.

Peristiwa tanggal 10 Maret 1994 masih segar dalam kenangan nelayan Lamalera. Kisahnya ketika sekitar pukul 11.30 Wita, sekawanan ikan paus lewat di depan perairan Lamalera. Dua peledang (perahu) ditumpangi para nelayan memburunya. Dua ekor paus paus, seekor induk dan seekor anak kena tempuling pada posisi 1,5 mil dari pantai. Sukacita tergurat di raut wajah mereka. Sebuah peledang berhasil menarik pulang sekor anak ikan paus, namun peledang lain harus lawan induk ikan paus yang terus menarik peledang ke tengah laut.
Ditarik ikan paus masuk ke laut lepas bukan hal baru. Sudah sering mereka alami. Sebab, ketika darah ikan keluar makin banyak dari banyaknya luka tikaman di tubuhnya maka tiga sampai empat jam, tenaganya terkuras habis dan ikan mati. Selanjutnya paus "ditonda" ke pantai.

Namun menjelang senja berganti malam, ikan paus belum juga tewas. Bahkan para nelayan semakin jauh diseretnya. Sebanyak 34 nelayan menumpang tiga peledang mengikuti pergerakan ikan paus ini, kalah kuat. Waktu terus berlalu, mereka terus terseret ikan dan dibawah arus ke lautan lepas. Tak tahunya sampai keesokan hari 11 Maret 1994, perjuangan nelayan membawa pulang ikan paus belum juga berhasil. Sampai akhirnya memutuskan ikatan tali peledang dan ikan paus. Ikan di lepas, entah masih hidup atau telah mati. 

Keadaannya semakin menakutkan. Tanggal 12 Maret, peledang Kebako Pukang pecah dihantam arus laut yang kencang. Peledang ini pun dilepas. Hanya dua peledang tersisah, Kelulus dan Kena Pukang diikatkan satu sama lain agar para nelayan tidak tercerai berai di tengah amukan gelombang Laut Sawu. Ternyata, peledang Kelulus juga tak kuat menahan ombak. Lambung perahu ini bocor, kemasukkan air dan kapal dilepas tenggelam.

"Paus induk ini rupanya marah karena anaknya dibunuh. Dia mengamuk dan seret kami semua. Keadaan saat itu mengerikan. Kami diseret dan terombang ambing selama empat hari lima malam di laut. Istri, anak dan keluarga di kampung menunggu cemas. Apakah kami selamat atau mati tenggelam. Kampung ini bagikan mati. Semua orang terdiam dan berkumpul di pinggir laut menunggu kabar," kisah Philipus Beda Kerong (54) didampingi istrinya Ny, Agnes Kewa Oleona (45) di kediamnya Senin malam, 30 April 2007.

Ny. Agnes, kala menunggu di rumah dengan anak sulung mereka berusia tiga tahun tak kuat menahan gejolak batin. Sedih, cemas dan takut melanda hatinya juga dirasakan orang sekampung dan istri-istri yang lain. Semuanya menanti penuh kebingungan kabar suaminya. Apakah selamat atau mati ditelan gelombang lautan. "Waktu itu, anjing saja tidak gonggong.Kampung ini seperti mati. Tak ada bunyi-bunyi, semua diam dengan perasaannya," sambung Ambros Oleona, caretaker Kepala Desa Lamalera A ketika itu.

Hujan dan angin ribut di lautan membuat kondisi tubuh para nelayan kian lemah. Philipus mengakui ia dan beberapa nelayan terserang sakit pilek dan panas, meski tak sampai parah. 

Mengingat lagi persitiwa 14 tahun silam, Philipus menambahkan, kejadian itu memberi makna beratnya perjuangan hidup nelayan Lamalera bertempur dengan maut menghidupi anak dan istri di rumah. Namun, ketika itu tugas itu dilakukan dengan benar dan tidak melanggar etika adat dan gereja, keselamatan selalu berpihak kepada nelayan. 

Setelah empat hari lima malam terombang-ambing di laut lepas, tepat pukul 23.45 Wita, tanggal 15 Maret 1994 datanglah bala bantuan kapal Spice Island. Mereka ditemukan terapung pada posisi 76 mil laut arah barat Pulau Semau dan 45 mil dari daratan Pulau Flores. Kapal ikan dinahkodai, Sebastinus Fernandez asal Larantuka, Flores Timur membawa nelayan Lamalera ke Kupang.

Tiga hari mereka diingapkan di Aula Kanwil Departemen Sosial NTT. Mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe, datang menjenguk para nelayan. Apa katanya kepada para nelayan Lamalera? "Kami ditanya apakah kami mau bertobat atau tidak tidak menangkap ikan paus. Kami semua jawab spontan, kami punya mata pencaharian mencari ikan paus," tandas Philipus mengulangi pernyataan mereka saat itu. Musakabe geleng-geleng kepala mendengar pengakuan para nelayan. Mereka akhirnya dipulangkan ke kampung halamannya menggunakan kapal feri KMP Ine Rie turun di Pelabuhan Waibalun, Larantuka.

***
RESIKO berburuh ikan paus bukan hanya sampai sebatas diseret dan terombang-ambing berhari-hari di laut lepas. Puluhan korban nyawa nelayan Lamalera, telah jatuh di lautan. Mereka semua mati ketika mencri ikan, tetapi semangat terus memburu ikan tak pernah pudar.

Sebelum tahun 1917, telah tercatat lima nelayan mati tenggelam, digigit ikan atau dililit tali leo. Sampai kejadian terakhir tanggal, 2 April 1992, sudah tercatat 32 orang nelayan meninggal di laut. Ada yang tenggalem, dililit tali "leo", dipukul ekor ikan paus atau digigit ikan hiu. (baca tabel nelayan Lamalera meninggal)
Nelayan Lamalera atau siapa saja mempercayai bahwa mati dan hidup bisa terjadi di mana saja. Di laut, di udara ataupun di darat, tak ada yang tahu akan nasibnya. Namun bagi orang Lamalera, kecelakaan dan kematian nelayan di laut dipercayai ada hubungannya dengan adat dan tradisi. Kesalahan atau pelanggaran yang diperbuat nelayan terhadap istri, anak, sanak famili dan sukunya, kelak akan dihakimi ikan paus.

Sulit mempercayainya dan tidak rasional. Tapi kenyataannya demikian. Salah memasang pasak peledang, tak tahunya akan diberitahu ikan paus ketika nelayan berhadapan dengan ikan. Dinding peledang rontok dipukul ekor ikan. Itulah pertanda kesalahan pembuatan kapal.

Nelayan Lamalera yang hendak memburu ikan paus adalah orang-orang bebas dari masalah. Yang dituntut kebersihan jiwa dan raga. Apalagi yang bertindak sebagai juru tikam (lamava), hati harus bersih, bebas dari perbuatan dosa. Pengakuan ini berdasarkan pengalaman selama melaut dan kisah nenek moyang dan orangtua dahulu. "Jangan coba-coba bikin salah dengan suku, istri dan anak. Apalagi dengan anak perempuan orang. Nyawa kita jadi taruhan," tandas Philipus. 
Kadangkala hanya diberikan peringatan oleh ikan. Tetapi, sumpah serapah orang yang ada di darat, nelayan di laut bisa jadi tumbal. Karena itu, sebelum melaut yang bersalah dan berselisih berterusterang mengakui perbuatannya. Kalau tak sempat, bisa dengan sesama awak peledang agar rejeki selalu dekat dan dan dijauhkan dari musibah. 

Tentang jatuhnya korban nelayan, Pastor Paroki St. Petrus Paulus Lamalera, Rm. Yakobus Dawan, Pr, mengatakan pekerjaan apapun ada resikonya. Tetapi, bagi nelayan Lamalera, korban yang pernah jatuh di laut merupakan akumulasi dari kesalahan manusia (nelayan) dengan masyarakat (suku), istri, anak dan sanak famili. Meski sering juga karena kelengahan manusia, tetapi kematian dan kecelakaan itu dipercayai akibat pelanggaran atau kelalian terhadap adat dan tradisi.

Suatu hal yang positif, apabila seluruh masyarakat dan nelayan bersekutu dalam suatu suasana persaudaraan, kekeluargaan akan diperoleh hasil melimpah. Tapi jika yang terjadi percecokan di keluarga, suku dan masyarakat, resikonya terhadap tangkapan dan nelayan jadi korban. 

Meskipun korban sering jatuh, namun pencarian ikan paus tak berhenti. Semua itu demi kelangsungan rumah tangga, anak dan istri. Daging, minyak, tulang dan gigi ikan paus ibarat panen yang didapat dari kebun dan ladang. Kaum ibu dan wanita menjualnya ke pasar jadi uang atau menukarkannya dari rumah ke rumah dengan beras, jagung, ubi, pisang milik petani di gunung-gunung. (eugenius moa/bersambung)

Nelayan Lamalera mati di laut
1. Bapak Nara Beto Bataona meninggal dipukul ikan
2. Bapak Yakobus Blida Oleona meninggal dibelit tali saat menikam ikan belelang.
3. Bapak Yohakim Demo Bataona meninggal digigit ikan hiu 
4. Bapak Klara Bataona meninggal dipukul ikan paus
5.Bapak Kelake Lelaona mati lemas saat menyelam ikan
6. Tahun 1917 Bapak Kela Nair tenggelam dan meninggal saat menikam ikan paus.
7. Tahun 1918 Bapak Gete Lelaona meninggal dibeli tali leo saat menafkah di Lewotobi
8. Tahun 1920 Bapak Polo Atawolo meninggal saat menikam ikan pari 
9. Tahun 1925, 10 orang mati ketika Titiheri tenggelam karena sarat muatan ikan belelang hasil tangkapan.
10. Tahun 1930, Bapak Alo Dolu meninggal terserang penyakit gila kambing saat memancing.
11. Bapak Lewolema, meninggal ditindis perahu di atas batu
12. 12 November 1961, Bapak Alo Boli Ebang meninggal digigit ikan hiu.
13. 11 Juni 1962, Bapak Dominikus Daton Keraf meninggal sekembalinya dari menafkah di Lewotobi.
14. 11 Juni 1963, Bapak Bernadus Daton Nudek, meninggal dibelit tali leo.
15. 1 Juli 1965 Bapak Michael Loba Besi mati lemas dibawah perahu yang terbalik saat menikam ikan paus.
16. 9 Agustus 1972, Bapak Linus Ratu Tapoana meninggal dipukul ekor ikan paus.
17. 9 November 1974, Bapak Petrus Sita Ebang meninggal dibelit tali tambat ikan penyu.
18. 3 Juni 1976 Bapak Praso Sulaona tenggelam dan meninggal saat menikam ikan belelang.
19. l 2 September 1978, Bapak Donatus Sinu Lelaona meninggal dalam perjalanan ke Lewotobi
20. 6 Janurai 1979, Bapak Bedi Bediona, ditemukan telah meninggal di dasar laut karena menembak ikan.
21. 2 April 1992, anak Bernadus Daton Nudek meninggal terbunuh di laut.
Sumber: Panitia perayaan misa arwah di Lamalera, Senin (30/4/2007)
Lanjut...

Tanpa kotekelama, kami lapar

Cerita ikan paus dari Lamalera (3)

HADIRNYA lembaga swasta, WWF Indonesia-Solor Alor- Lembata Project membuka usaha konservasi di wilayah ini, tengah menjadi kekhawatiran nelayan Lamalera. Beredar kabar, nelayan Lamalera akan dilarang memburu ikan paus.

Meksi sebatas gagasan yang didiskusikan, sikap perlawanan sudah mulai muncul. Larangan memburu paus dinilai memutus mata rantai mata pencaharian utama warisan nenek moyang mereka.

Kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf, warga Lamalera B, Philipus Beda Kerong dan tokoh masyarakat Bernadus Batafor, melontarkan kekhawatirannya. Keraf mengakui paus adalah binatang dilindungi, tetapi jangan pernah membatasi nelayan menangkapnya. Lamalera bisa terkenal ke selutuh dunia karena tradisi menangkap ikan paus secara tradisonal. Tanpa paus Lamalera akan mati. "Kami tidak bisa hidup tanpa paus. Kami lapar dan tidak bisa sekolahkan anak. Tidak bisa bangun rumah seng," kata Keraf, kepada Pos Kupang di Lamalera, Selasa (1/5/2007) usai perayaan kurban misa leva.

Nelayan Lamalera, diakuinya bisa mencari ikan-ikan kecil, tetapi sulit memasarkanya. Siapa yang akan datang membeli ke Lamalera nun jauh di pantai Selatan Pulau Lembata. Bagaimana mengawetkannya, es batu sulit didapat dan listrik hanya sebatas penerangan malam.

Ketakutan serupa disampaikan Philipus, Lamalera bisa mati kelaparan tanpa paus. Paus telah menghidupi kami sejak nenek moyang dahulu kala sampai kini. Nelayan bisa menyekolahkan anak sampai pergurun tinggi dari hasil ikan paus, rumah seng bisa dibangun dengan hasil ikan. Semua urusan di rumah bisa lancar dengan ikan paus.

Akan terasa lain jika paus dilarang ditangkap, karena selama ini Lamalera dibesarkan dan menggantunkan hidup pada "kotekelema". Kotekelema, adalah sejenis paus yang paling sering didapat. Ciri ikan ini yakni melahirkan anak, menyusui anak sampai dewasa, bernafas dengan paru paru dan tidak berdarah panas. 

Nelayan Lamalera juga tidak semata menangkap paus. Ikan hiu dan jenis ikan lain juga dicari. Sebelum hadirnya kapal nelayan asing, mereka masih bisa mendapatkan hiu. Tetapi, sejak kapal ikan asing melepas long line di Lamalera, hiu jadi jarang diperoleh. Padahal sirip dan ekornya dijual kepada pengusaha dan mendatangkan penghasilan besar, dan dagingnya bisa dibarter kaum ibu dengan hasil kebun dari gunung-gunung atau dijual ke pasar.

Nelayan Lamalera juga mengetahui paus sumber hidupnya merupakan binatang purbakala yang mungkin hampir punah. Tetapi, penangkapan secara tradisional memenuhi kebutuhan sendiri, dipercayai paus akan tetap hidup dan ada sepanjang saman. 

Gagasan WWF menghentikan penangkapan paus, dipahami Philipus. Namun, nelayan harus diberi alternatif "pencaharian" berupa motor jonson (motor temple) dan pukat. 

Ambros Oleona, warga masyarakat Lewoleba asal Lamalera, mengeluhkan kapal nelayan modern diawaki nelayan asing beroperasi ke Lamalera. Sebelum hadirnya kapal ini, nelayan setempat mudah mendapatkan hiu. Tetapi, sejak beroperasinya kapal asing, hiu sulit diperoleh. Nelayan asing hanya mengambil siripnya dan membuangkan daging hiu ke laut.

"Dulu, nelayan bisa menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi dengan menjual sirip ikan hiu, tetapi sekarang sulit sekali mendapatkannya,"kata pensiunan guru SD ini kepada Pos Kupang, usai mengkuti misa arwah di Lamalera, Senin malam (30/4/2007).

Tokoh masyarakat Lamalera, Barnadus Batafor, menawarkan penakaran ikan kerapu bisa menjadi altenatif bagi nelayan Lamalera jika perburuan paus dilarang. Menurutnya, laut Lamalera, potensial ikan kerapu, tetapi memasuki usaha ini, nelayan membutuhkan modal dan pendampingan. Sedangkan rumput laut, sudah pernah diusahakan, tetapi sering dihempas ombak. Sempat dipindahkan ke lokasi yang teduh, namun sering dicuri.

****
MENGALIHKAN mata pencaharian nelayan Lamalera dari tangkap ikan paus yang telah turun temurun dilakoninya kepada usaha penangkapan ikan lain bukan pekerjaan gampang. Inilah benang merah tukar pendapat masyarakat Lamalera dengan rombongan WWF Indonesia, TNC dan Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP) RI, mengunjungi Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Senin (30/4/2007). Dialog singkat usai perayaan misa leva, Selasa (1/5/5007) berlangsung santai dan akrab.

Wakil Direktur Program Kelautan WWF Indonesia, Tri Agung, mengakui sulit melarang apalagi menghilangkan tradisi yang sudah turun temurun diwariskan nenek moyang. Melarang mereka, sama halnya menghilangkan suatu budaya yang sudah mengakar kuat di masyarakat. 

Tri, menanyakan nelayan tentang hasil tangkapan ikan paus pada 2006 hanya lima ekor mengatakan, paus merupakan binatang migrasi yang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Karenanhya konservasi ikan paus harus merupakan gerakan global dan tidak bisa dilakukan hanya di suatu lokasi dan membiarkan penangkapan dan pembunuhan pada lokasi yang lain.

Konservasi hutan maupun binatang, lanjut Tri, sering salah diterjemahkan. Orang menafsirkan konservasi dengan penutupan. Padahal, konservasi merupakan tindakan pemanfaatan secara terbatas agar sumber daya yang ada bisa juga digunakan generasi berikutnya. 

Tri menegaskan, saat ini WWF tidak sedang berupaya menghentikan aktivitas perburuan, tetapi memikirkan tindakan alternatif yang bisa menjadi solusi mengatasi perburuan paus. 

Mengalihkannya pencaharian memburu paus dengan dengan memelihara rumput laut atau mencari ikan jenis lain, juga butuh penelitian dan kajian mendalam dan didiskusikannya dengan nelayan. Program mana yang tepat untuk nelayan Lamalera. Menyelami potensi dan kekayaan yang ada di pantai Lamalera juga perlu dilakukan. 

Ketika pengalihannya juga tidak serentak, melarang nelayan jangan memburu paus. Namun bertahap, rakyat disadarkan terus-menerus sampai dia memahami paus perlu dilestarikan. 

Andy Rusandi dari DKP mengatakan, laut Sawu, kini jadi "ladang" perburuan paus merupakan daerah subur (up welling) yang ditandai perputaran arus laut yang tinggi. Keadaan ini menciptakan pito planton yang subur dan potensial untuk makanan ikan. Potensi ini pun menarik minat nelayan dari luar masuk mencari ikan di laut Sawu. Langkah nyata yang perlu dilakukan adalah menjaga kelestariannya dari upaya pemboman dan pemusnahannya.

Dikatakannya, dua lokasi laut potensial ikan di Indonesia selalu dibicarakan dalam forum diskusi nasional, yakni laut Sawu dan Anambas di Kepulauan Riau.
"Indonesia Timur, potensi subur ini hanya di laut Sawu. Dalam musim tertentu setiap tahun, terjadi migrasi ikan-ikan dari tempat lain melewati laut Sawu. Banyak nelayan dan kapal penangkapan ikan sedang mengincar lokasi ini," tandas Andy Rusandi, kepada Pos Kupang di Lamalera, Selasa (1/5/2007)

Tentang konservasi ikan paus, Andy mengatakan, konservasi bukan hanya melindungi, tetapi pengaturan sedemikian rupa, sehingga sumber daya yang ada bisa digunakan secara berkelanjutan. "Tangkap paus secara tradisional berlangsung turun- temurun dan tidak menggunakan teknologi modern, sebenarnya nelayan sudah melakukan konservasi," tandas Andy.

Utusan The Natural Conservasi (TNC) , Yohanes Subiyanto mengatakan, WWF, TNC dan pemerintah daerah bisa bergendengan tangan mendorong laut Sawu menjadi kawasan konservasi. Penangkapan paus dengan cara-cara tradisional merupakan tindakan bijak menjaga kelesatarin paus. Tradisi penangkapan yang memadukan ritual adat dan persembahan kurban misa yang mengawali perburuan, belum pernah ditemukan di lokasi manapun di dunia ini. 

Paus adalah binatang migrasi yang tak terikat dalam ruang dan waktu. Supaya keberaadannya terjaga, mesti jadi komitmen bersama melestarikannya. Jangan sampai paus dan nelayan Lamalera tinggal nama. 

Konservasi, kata Subiyanto, bukan boleh dan tidak boleh mengambil sumber daya alam itu, tetapi persahabatan manusia dengan alam lingkungan agar bisa digunakan sepanjang masa. Tidak menggunakan racun sianida dan bom ikan untuk mendapatkan tangkapan sudah merupakan langkah konservasi. 
Subiyanto menyarankan, mengalihkan nelayan Lamalera menekuni usaha lain di laut, menakar ikan kerapu, memelihara rumput laut yang memberi hasil lebih besar perlu keterpaduan semua stakeholder. Semuanya harus dikaji matang agar tidak sekedar mengalihkan, tetapi nelayan dirugikan.(eugenius moa/habis)
Lanjut...

18 Mantan Anggota DPRD Lembata akan Diperiksa

LEWOLEBA, PK--Delapan belas mantan anggota DPRD Lembata yang telah didakwa bersama-sama dengan mantan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Lembata, Drs. Philipus Riberu, dan Haji Hidayatullah Sarabiti (terdakwa I dan II) dalam kasus penyelewengan keuangan DPRD Lembata segera diperiksa penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Lewoleba. 

Pembayaran hak-hak para wakil rakyat yang dilakukan 'double' dan melanggar Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 161 /3211/SJ tanggal 29 Desember 2003 tentang Kedudukan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD maupun Perda Nomor 20 Tahun 2003, menyebabkan kerugian negara Rp 654.512.460.

"Dalam waktu dekat kita periksa 18 orang mantan anggota DPRD Lembata. Anggota dewan yang masih aktif di DPRD akan diproses izin pemeriksaannya kepada Gubernur NTT. Mereka semua, yang aktif dan yang tidak aktif lagi akan diperiksa satu-persatu," kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lewoleba, Gabriel Mbulu, S.H, kepada Pos Kupang, di Lewoleba, Kamis (4/12/2008).

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Wilayah V Denpasar, kerugian negara Rp 654.512.460, meliputi kelebihan pembayaran premi asuransi Rp 73.800.000, pembayaran biaya perawatan dan pengobatan tunai Rp 85 juta. Selain itu, pembayaran biaya pengobatan dan perawatan tunai Rp 85 juta, tunjangan kesehatan dibayar tunai Rp 19.853.400, pesangon atau nilai tunai dari AJB Bumi Putra Rp 416.216.660 dan pengembalian biaya perawatan dan pengobatan Rp 25.357.600. 

Proses penyelidikan 18 mantan anggota dewan itu, kata Gabriel yang didampingi Ketua Tim JPU Kejari Lewoleba, Yohanes Lebe Unaradja, S.H, dan Kasi Pidana Khusus (Pidsus), Arif Mira Kanahau, S.H, tidak harus menunggu tuntasnya perkara dua mantan pimpinan wakil rakyat itu. 

Bersamaan dengan disidangkannya Riberu dan Sarabiti, 18 mantan anggota bisa mulai diselidiki. "Kami akan kerja pelan-pelan. Penyelidikan ini butuh waktu, tenaga dan uang. Yang pasti kami akan selesaikan secepatanya," katanya.

Gabriel menjelaskan, pekerjaan utama yang harus diburu, yakni menyelesaikan sidang terdakwa ketua dan wakil ketua DPRD. Bilamana keduanya telah terbukti bersalah maka para anggota yang menerima dana tersebut tidak akan kesulitan dituntaskan penyelidikannya. "Kalau pimpinannya sudah terbukti, yang lain ikut menikmatinya juga harus ikut bertanggung jawab,"tandas Gabriel.

Yohanes menegaskan, 18 orang mantan anggota dewan yang telah didakwa JPU bersama-sama tidak akan ditinggalkan. Semua mereka menikmatinya. "Tidak mungkin ditinggalkan, kami akan selidki dan lakukan ekpose kasus ini. Kasus ini jadi perhatian publik dan pimpinan kejaksaan," kata Yohanes.

Dalam sidang kedua perkara korupsi DPRD, Kamis (4/12) di PN Lewoleba, dengan agenda eksepsi terdakwa, Sarabiti dan Riberu dibacakan kuasa hukum N.Nita Juwita, S.H, dan Sebastianus Ola Domaking, S.H, mendesak JPU segera menyelidiki 18 anggota dewan yang ikuti menikmati hak-hak DPRD itu. Menurut kuasa hukum, tanggung jawab terdakwa I dan II tidak menerima dana sebesar Rp 654.512.460 seperti didakawaan JPU dalam sidang, Selasa (2/12).

"Kenapa hanya dua nama (terdakwa I dan II ) yang diproses, sedangkan 18 anggota dewan belum masuk," kata kuasa hukum dalam sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Karlen Parhusip, S.H, hakim anggota L.M.Sandi Iramaya, S.H, dan Dedy Heryanto. Tim JPU dipimpin Yahanes Lebe Unaraja, S.H, Yeremias Pena, S.H, dan Janu Asrianto, S.H.

Tim kuasa hukum menilai JPU gegabah dan prematur membawa kasus ini ke PN mempersoalkan, pembayaran hak-hak kepada anggota DPRD, padahal Perda Nomor 20 Tahun 2003 mengatur tentang Kedudukan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD tidak dicabut oleh Gubernur NTT atau Mahkamah Konstitusi RI. 

Karena itu, perkara ini harus batal demi hukum. Kuasa hukum minta majelis hakim menjatuhkan keputusan sela menerima eksepsi terdakwa I dan II, membebaskan terdakwa dari semua dakwaan. Sidang ini akan dilanjutkan pekan depan. (ius)

18 Mantan Anggota DPRD 
1. Yohanes Vainey K. Burin, S.H
2. Yohanes Beda Waleng
3. Kunrardus Koli Muda
4. Yakobus Mbawo
5. Romanus Bediona
5. Simon Teri Langobelen
6. Bernadus Nara, S.Pd
7. Pius Namang
8. Usman Bethan
10. Frans Making, B.A
11. Lukas Onek Narek
12. Kanisius Baka
13. Drs.Yohakim Nuba Baran
14. Petrus Kumbala
15. Drs.Arsyad Muhammad
16. Yohanes Sanu Liarian
17. Paul K.B. Aran
18. Drs.Mangge Sarabiti

Pos Kupang edisi Sabtu, 6 Desember 2008, halaman 17
Lanjut...